Warga & Aktivis Desak Pemerintah Tinjau Ulang Konsesi 130.252 Ha PT Agincourt Resources: “Apakah Sudah Ada Persetujuan Masyarakat?”

HS


 

IKLAN

 


Warga & Aktivis Desak Pemerintah Tinjau Ulang Konsesi 130.252 Ha PT Agincourt Resources: “Apakah Sudah Ada Persetujuan Masyarakat?”

Admin Warta
Selasa, Desember 02, 2025


Warga & Aktivis Desak Pemerintah Tinjau Ulang Konsesi 130.252 Ha PT Agincourt Resources: “Apakah Sudah Ada Persetujuan Masyarakat?”



Sumatera Utara — PT Agincourt Resources memiliki konsesi tambang emas yang sangat luas: total 130.252 hektar (1.303 km²) berdasarkan Kontrak Karya (CoW) generasi keenam dengan Pemerintah Indonesia. Konsesi ini mencakup wilayah administratif di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal. 



Namun, area operasional yang aktif — di mana penambangan benar-benar berlangsung — jauh lebih kecil: perusahaan menyebut luas area operasional per Desember 2024 sekitar 646,08 hektar



⚠️ Tumpang Tindih Konsesi dengan Hutan, Ekosistem & Hak Ulayat

  • Beberapa laporan menunjukkan bahwa bagian dari konsesi PTAR tumpang tindih dengan wilayah ekosistem penting Batang Toru — habitat Orangutan Tapanuli, ekosistem hutan hujan tropis, DAS (daerah aliran sungai), dan ruang hidup masyarakat adat serta masyarakat lokal.

  • Aktivitas penambangan dan ekspansi — termasuk rencana fasilitas penimbunan limbah (tailings management facility / TMF) — dinilai mengancam keanekaragaman hayati, habitat satwa langka, dan kelangsungan hidup masyarakat adat serta komunitas lokal di sekitar area konsesi.


❓ Belum Diketahui: Apakah Ada Persetujuan Masyarakat?

Hingga kini, tidak ditemukan dokumentasi publik yang jelas menunjukkan bahwa:

  • seluruh komunitas adat / masyarakat lokal di dalam konsesi telah dimintai persetujuan secara bebas dan berdasarkan informasi (free, prior and informed consent — FPIC),

  • tanah ulayat / hutan adat telah dilepas secara sah sebelum pemberian izin konsesi,

  • masyarakat diikutsertakan dalam konsultasi formal tentang dampak sosial-lingkungan dan kompensasi — dengan salinan keputusan tersedia secara terbuka.


Sementara itu, banyak organisasi lingkungan dan hak adat menolak keberadaan konsesi besar tersebut — dengan menyatakan bahwa persetujuan sosial belum terwujud. 



Dengan demikian, klaim bahwa konsesi PTAR adalah hasil “persetujuan awal masyarakat” sulit dibenarkan.



📝 Tuntutan: Cabut Izin Konsesi, Pulihkan Hak Ulayat & Hutan Adat



Berdasarkan temuan dan regulasi yang ada, warga, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan menyerukan beberapa hal:



  1. Pemerintah — baik pusat maupun provinsi/kabupaten — meninjau ulang seluruh konsesi PT Agincourt Resources, terutama yang tumpang tindih dengan hutan lindung, kawasan konservasi, DAS, ekosistem penting, dan wilayah ulayat masyarakat adat.

  2. Cabut izin konsesi atau batasi area kerja bila tidak ada bukti sah persetujuan masyarakat / masyarakat adat.

  3. Lakukan inventarisasi dan pendaftaran hak ulayat / hutan adat sesuai regulasi agraria nasional agar hak masyarakat adat diakui dan terlindungi secara hukum.

  4. Hentikan rencana ekspansi, penambahan fasilitas, atau penggunaan lahan baru—terutama jika akan merusak habitat, hutan, atau mempengaruhi lingkungan hidup.

  5. Transparansi penuh: buka data konsesi, peta sebaran, dampak lingkungan, dan hasil kajian sosial — agar publik dan masyarakat lokal bisa mengawasi.

  6. Dahulukan prinsip keadilan lingkungan & hak adat daripada ekspansi ekonomi — demi menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan jangka panjang masyarakat.

📣 Seruan kepada Publik, Media & Negara



Kasus PT Agincourt Resources / Martabe Gold Mine adalah cerminan pentingnya keadilan agraria, perlindungan hak adat, dan kehati-hatian lingkungan di Indonesia. Bila dibiarkan tanpa kajian dan persetujuan sah, konsesi besar seperti ini bisa memicu konflik agraria, penggusuran hak adat, kerusakan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati — termasuk risiko kepunahan untuk spesies dilindungi.



Kami mengajak:

  • Masyarakat adat & komunitas lokal untuk menuntut hak ulayat dan mendapatkan perlindungan hukum.

  • Media dan publik untuk mengawal dan menagih transparansi informasi kawasan konsesi.

  • Pemerintah untuk menegakkan regulasi agraria, lingkungan, dan hak asasi manusia.


( TIM/RED)