Warga & Aktivis Desak Pemerintah Tinjau Ulang Konsesi 130.252 Ha PT Agincourt Resources: “Apakah Sudah Ada Persetujuan Masyarakat?”
Sumatera Utara — PT Agincourt Resources memiliki konsesi tambang emas yang sangat luas: total 130.252 hektar (1.303 km²) berdasarkan Kontrak Karya (CoW) generasi keenam dengan Pemerintah Indonesia. Konsesi ini mencakup wilayah administratif di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.
Namun, area operasional yang aktif — di mana penambangan benar-benar berlangsung — jauh lebih kecil: perusahaan menyebut luas area operasional per Desember 2024 sekitar 646,08 hektar.
⚠️ Tumpang Tindih Konsesi dengan Hutan, Ekosistem & Hak Ulayat
-
Beberapa laporan menunjukkan bahwa bagian dari konsesi PTAR tumpang tindih dengan wilayah ekosistem penting Batang Toru — habitat Orangutan Tapanuli, ekosistem hutan hujan tropis, DAS (daerah aliran sungai), dan ruang hidup masyarakat adat serta masyarakat lokal.
-
Aktivitas penambangan dan ekspansi — termasuk rencana fasilitas penimbunan limbah (tailings management facility / TMF) — dinilai mengancam keanekaragaman hayati, habitat satwa langka, dan kelangsungan hidup masyarakat adat serta komunitas lokal di sekitar area konsesi.
❓ Belum Diketahui: Apakah Ada Persetujuan Masyarakat?
Hingga kini, tidak ditemukan dokumentasi publik yang jelas menunjukkan bahwa:
-
seluruh komunitas adat / masyarakat lokal di dalam konsesi telah dimintai persetujuan secara bebas dan berdasarkan informasi (free, prior and informed consent — FPIC),
-
tanah ulayat / hutan adat telah dilepas secara sah sebelum pemberian izin konsesi,
-
masyarakat diikutsertakan dalam konsultasi formal tentang dampak sosial-lingkungan dan kompensasi — dengan salinan keputusan tersedia secara terbuka.
Sementara itu, banyak organisasi lingkungan dan hak adat menolak keberadaan konsesi besar tersebut — dengan menyatakan bahwa persetujuan sosial belum terwujud.
Dengan demikian, klaim bahwa konsesi PTAR adalah hasil “persetujuan awal masyarakat” sulit dibenarkan.
📝 Tuntutan: Cabut Izin Konsesi, Pulihkan Hak Ulayat & Hutan Adat
Berdasarkan temuan dan regulasi yang ada, warga, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan menyerukan beberapa hal:
-
Pemerintah — baik pusat maupun provinsi/kabupaten — meninjau ulang seluruh konsesi PT Agincourt Resources, terutama yang tumpang tindih dengan hutan lindung, kawasan konservasi, DAS, ekosistem penting, dan wilayah ulayat masyarakat adat.
-
Cabut izin konsesi atau batasi area kerja bila tidak ada bukti sah persetujuan masyarakat / masyarakat adat.
-
Lakukan inventarisasi dan pendaftaran hak ulayat / hutan adat sesuai regulasi agraria nasional agar hak masyarakat adat diakui dan terlindungi secara hukum.
-
Hentikan rencana ekspansi, penambahan fasilitas, atau penggunaan lahan baru—terutama jika akan merusak habitat, hutan, atau mempengaruhi lingkungan hidup.
-
Transparansi penuh: buka data konsesi, peta sebaran, dampak lingkungan, dan hasil kajian sosial — agar publik dan masyarakat lokal bisa mengawasi.
-
Dahulukan prinsip keadilan lingkungan & hak adat daripada ekspansi ekonomi — demi menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan jangka panjang masyarakat.
📣 Seruan kepada Publik, Media & Negara
Kasus PT Agincourt Resources / Martabe Gold Mine adalah cerminan pentingnya keadilan agraria, perlindungan hak adat, dan kehati-hatian lingkungan di Indonesia. Bila dibiarkan tanpa kajian dan persetujuan sah, konsesi besar seperti ini bisa memicu konflik agraria, penggusuran hak adat, kerusakan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati — termasuk risiko kepunahan untuk spesies dilindungi.
Kami mengajak:
-
Masyarakat adat & komunitas lokal untuk menuntut hak ulayat dan mendapatkan perlindungan hukum.
-
Media dan publik untuk mengawal dan menagih transparansi informasi kawasan konsesi.
-
Pemerintah untuk menegakkan regulasi agraria, lingkungan, dan hak asasi manusia.
( TIM/RED)




