Saat Presiden Ajak Guru Ajarkan Lingkungan, Kita Bertanya: Benarkah Guru yang Lalai?

HS


 

IKLAN

 


Saat Presiden Ajak Guru Ajarkan Lingkungan, Kita Bertanya: Benarkah Guru yang Lalai?

Admin Warta
Minggu, November 30, 2025


Saat Presiden Ajak Guru Ajarkan Lingkungan, Kita Bertanya: Benarkah Guru yang Lalai?







Dalam Pidato pada Puncak Perayaan Hari Guru Nasional kemarin, Presiden Republik Indonesia menyampaikan pesan penting kepada para guru di seluruh penjuru negeri. Beliau menyoroti maraknya banjir bandang dan longsor yang terjadi di berbagai wilayah Sumatera, dan meminta agar porsi pengajaran tentang pentingnya menjaga lingkungan diperkuat di sekolah-sekolah.



Sebuah ajakan yang patut diapresiasi. Siapa pun sepakat bahwa menjaga bumi adalah tugas mulia.



Namun, jika kita menarik garis lurus dari pernyataan itu, seolah muncul sebuah kesimpulan:
“Selama ini guru-guru belum cukup mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan.”



Sebuah tudingan yang terasa manis di mulut, tetapi salah sasaran!

Mari kita buka kembali lembaran memori kita:

Bukankah sejak berseragam merah-putih, kita sudah diajarkan bahwa sampah harus dibuang pada tempatnya?


Bukankah hampir setiap sekolah punya program Jumat Bersih?


Bukankah siswa-siswa secara rutin diminta menanam pohon, merawat taman, dan mengenal fungsi hutan lewat pelajaran IPA?



Dari buku teks hingga tata tertib sekolah, pendidikan lingkungan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional selama puluhan tahun lamanya. Bahkan, banyak guru menjadikan hal itu sebagai pembiasaan karakter, bukan sekadar teori di papan tulis.


Jadi, di mana letak kekurangannya?


Apakah banjir melanda karena murid tidak diajari tentang pohon?


Apakah longsor terjadi karena kurikulum lupa menuliskan kata “cinta lingkungan”?

Tentu tidak.

Masalah sesungguhnya ada pada sebagian kecil orang dewasa yang dulu juga bersekolah dan diajari nilai-nilai lingkungan oleh gurunya… tetapi kemudian lupa—atau pura-pura lupa.


Mereka duduk di kursi-kursi empuk kekuasaan.


Mereka memegang pena yang bisa menandatangani izin alih fungsi lahan.
Mereka mengubah kawasan hijau menjadi perkebunan dan bangunan megah yang menggerus tanah air sendiri.


Mereka tahu konsekuensinya.
Mereka tahu hutan adalah benteng bencana.


Mereka tahu sungai bukan tempat membuang limbah.

Namun ketika uang datang mengetuk dan menyajikan angka nol berderet panjang, semua pengetahuan tentang lingkungan mendadak lenyap. Pelajaran sekolah kalah oleh godaan rupiah.


Mereka lah penyebab utama bencana ekologis kita.
Bukan guru.
Bukan siswa.
Bukan kurikulum.

Karena itu, jika ada tambahan pelajaran yang penting saat ini, mungkin bukan lagi “Pendidikan Lingkungan Hidup untuk siswa”, melainkan:


Pelajaran Akhlak dan Anti Korupsi untuk Pejabat dan Korporat.


Sebab masalah lingkungan pada dasarnya bukan hanya persoalan ekologi.
Ini adalah bencana moral.



Seorang manusia yang memiliki akhlak dan integritas tidak akan pernah menukar keselamatan generasi masa depan demi kilatan uang hari ini. Ia akan menjaga tanah, air, dan hutan dengan kesadaran nurani—bukan sekadar karena ada bab pelajaran yang menyuruhnya begitu.

Kesimpulan:


Guru sudah lama mengajarkan bagaimana merawat bumi.


Kini, waktunya kita mengajarkan sebagian pemimpin dan pengusaha:


Bagaimana merawat hati.

Karena hanya hati yang bersih, yang tidak bisa dibeli, yang mampu menyelamatkan negeri ini dari banjir, longsor, dan dari tenggelamnya akal sehat manusia.


(TIM)