Bupati Tapteng Serahkan 100 Ha Tanah Negara ke Kodim 0211/TT, Aktivis Pertanyakan Hak 20% untuk Masyarakat Adat

IKLAN

KING SERVICE

Bupati Tapteng Serahkan 100 Ha Tanah Negara ke Kodim 0211/TT, Aktivis Pertanyakan Hak 20% untuk Masyarakat Adat

Admin Warta
Kamis, September 18, 2025


Bupati Tapteng Serahkan 100 Ha Tanah Negara ke Kodim 0211/TT, Aktivis Pertanyakan Hak 20% untuk Masyarakat Adat






Medan, 18 September 2025 — Keputusan Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) menyerahkan tanah negara seluas 100 hektar kepada Kodim 0211/TT untuk pembangunan Batalion TP 905 menuai sorotan publik, khususnya dari kalangan aktivis tanah adat dan masyarakat sekitar.



Dalam aturan yang berlaku, khususnya terkait perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), setiap perusahaan atau pihak pemegang izin wajib mengalokasikan 20% dari luas lahan untuk kepentingan masyarakat adat, masyarakat sekitar, dan warga setempat, sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, serta diperkuat oleh regulasi tata ruang dan permukiman rakyat.



Namun, dalam kasus pemberian tanah 100 hektar kepada Kodim 0211/TT tersebut, pertanyaan besar muncul: 20% untuk masyarakat itu diberikan dalam bentuk apa, dan bagaimana realisasinya?



Aktivis tanah adat/ulayat, Rules Gajah, S.Kom, saat ditemui wartawan Mitra Polri di Kota Medan, Kamis (18/9/2025), menyatakan:



“Kita memahami pembangunan batalion adalah aset negara, tetapi aturan tetap harus jelas. Bila mengacu pada perpanjangan HGU, ada kewajiban mengeluarkan 20% untuk masyarakat adat atau warga sekitar. Pertanyaannya, kalau tanah sudah diberikan untuk batalion dan menjadi aset negara, masyarakat mana yang mendapat bagian 20% itu?” tegasnya.



Aspek Hukum dan Keadilan Agraria



Menurut Rules Gajah, persoalan ini harus dikaji berdasarkan sejumlah regulasi:



  • UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 → menegaskan fungsi sosial tanah dan perlindungan hak-hak masyarakat adat/ulayat.

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan turunannya → mengatur tata kelola tanah negara termasuk pemanfaatannya.

  • UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang → menekankan pemanfaatan ruang untuk kepentingan publik, permukiman, dan kemaslahatan rakyat.

  • UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman → menegaskan kewajiban pemerintah daerah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan ruang hidup yang layak.



Dengan dasar hukum tersebut, aktivis menilai bahwa pemerintah daerah seharusnya menyusun tata ruang yang adil dan inklusif, bukan hanya memindahkan lahan negara tanpa memperhitungkan hak-hak rakyat yang tinggal di sekitar kawasan.



Pertanyaan yang Mengemuka

  1. Bagaimana nasib alokasi 20% bagi masyarakat adat/ulayat bila tanah negara sudah menjadi aset militer?

  2. Apakah sudah ada kajian analisis sosial dan tata ruang yang melibatkan masyarakat setempat sebelum penyerahan tanah?

  3. Sejauh mana transparansi pemerintah daerah dalam mengumumkan peralihan fungsi tanah negara tersebut?



Panggilan untuk Transparansi



Rules Gajah menekankan bahwa pihaknya tidak menolak pembangunan fasilitas pertahanan negara, namun menuntut agar pemerintah daerah bersikap transparan dan memastikan hak rakyat tidak diabaikan.



“Kami mendukung TNI sebagai benteng negara, tapi jangan sampai masyarakat adat, ulayat, dan warga sekitar dikorbankan. Pemerintah harus membuka data, melibatkan rakyat, dan memastikan keadilan agraria tetap dijaga,” pungkasnya.



Kasus ini diharapkan menjadi perhatian Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM, dan lembaga pengawas lainnya, agar implementasi UU agraria dan tata ruang benar-benar berpihak pada rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi.


(Tim)